Nasional

Nasional

Pertanggung Jawaban Rumah Sakit Dalam Praktek Layanan Kesehatan. Catatan : Praktisi Hukum Rohmat Selamat, SH, M.Kn

Friday 12 January 2024

/ by Angkara News

Bogor angkaranews. Pertanggungjawaban hukum rumah sakit dalam praktik layanan kesehatan dan praktik kedokteran di rumah sakit sebaiknya diaplikasikan tidak menyimpang dari Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Hal ini disebabkan, pertanggungjawaban hukum rumah sakit dalam menyelesaikan sengketa layanan medis di Indonesia membutuhkan kemanfaatan sesuai asas.

Selain itu, pihak Rumah Sakit yang melakukan tindakan operasi, sehingga berakibat fatal terhadap pasien, harus pula merujuk pada Pasal 46 Undang Undang no 44 tahun 2009, tentang rumah sakit yaitu Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit

Pada prinsipnya rumah sakit bertanggung jawab kepada tiga hal

1. Tanggung jawab terhadap kewajiban memberikan pelayanan yang baik

2. Tanggung jawab terhadap sarana dan peralatan

3. Tanggung jawab terhadap personalia

Tidak kalah penting setiap Rumah Sakit berkewajiban memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, pasal 29 ayat 1 undang undang No 44 Tahun 2009.

Penyelenggara Kesehatan yang menimbulkan kerugian bertanggung jawab penuh terhadap dokter yang menangani pasien dan tidak boleh melepaskan tanggung jawab tersebut hal ini sesuai pasal 58 ayat 1 undang undang nomor 36 Tahun 2009. Tentang kesehatan yang berbunyi:

Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan atau penyelengara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

Tanggung jawab rumah sakit di Indonesia sebagaimaa diatur dalam Pasal 46 UU Rumah Sakit yang menyatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.

Ada dua makna yang terkandung di dalam pengaturan ini. Pertama, rumah sakit hanya bertanggung jawab terhadap kesalahan yang bersifat kelalaian dan bukan kesalahan yang bersifat kesengajaan. Hal ini dikarenakan, kesalahan yang bersifat kesengajaan merupakan perbuatan yang digolongkan sebagai kriminal karena terdapat mens rea (sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana) dan actus reus (perbuatan yang melanggar undang-undang pidana).

Kedua, kelalaian tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan pada saat atau dalam rangka melaksanakan tugas yang diberikan oleh rumah sakit. Pertanggungjawaban yang terpusat kepada rumah sakit juga dipertegas di dalam Pasal 32 (q) Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menyatakan bahwa setiap pasien mempunyai hak, salah satunya adalah menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana.

Tanggung jawab hukum rumah sakit seringkali tidak dapat dilaksanakan dengan sepenuhnya karena masih kuatnya pola hubungan paternalistik antara pemberi dan penerima pelayanan kesehatan. Pola hubungan paternalistik merupakan pola hubungan antara atasan dan bawahan.

Dalam pola hubungan paternalistik ini, dokter diposisikan sebagai atasan dan pasien diposisikan sebagai bawahan. Pasien belum menyadari bahwa di dalam dirinya terdapat hak, termasuk juga hak atas informasi sehingga seringkali dokter melakukan tindakan medis tanpa memberikan informasi yang memadai kepada pasien.

Mayoritas masyarakat Indonesia mengasumsikan bahwa kegagalan tindakan medis merupakan malpraktik dan bahkan mempersamakan kegagalan tindakan medis dengan tindak pidana. Hal ini tidak sepenuhnya tepat karena dalam tindak pidana, yang dititikberatkan adalah akibat dari tindak pidana. Sedangkan di dalam tindakan medis, yang menjadi titik berat adalah proses.

Oleh karena itu, karakteristik dari tindakan medis adalah inspanningsverbintennis (perikatan yang menitikberatkkan pada upaya maksimal) dan bukan resultaatsverbintennis (perikatan yang menitikberatkan pada hasil). Meskipun demikian, dalam menerapkan upaya maksimal, terdapat parameter yang harus dipatuhi, yaitu Standar Profesi Kedokteran.

Tentunya, hal ini menjadi beban, khususnya bagi para pencari keadilan. Oleh karena itu, perlu dilakukan rekonstruksi terhadap pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit di Indonesia.

( DPC PWRI

No comments

Post a Comment

Don't Miss
Copyright © 2023 Angkara News